بسم الله الرحمن الرحيم
اَلْحَمْدُ ِللهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلىَ رَسُوْلِ اللهِ وَعَلىٰ آلِهِ وَ مَنْ وَالاَهُ، وَبَعْدُ
اَلْحَمْدُ ِللهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلىَ رَسُوْلِ اللهِ وَعَلىٰ آلِهِ وَ مَنْ وَالاَهُ، وَبَعْدُ
Saudariku,
ketahuilah, ikatan iman yang paling kuat tergambar pada diri seseorang
yang mencintai sesuatu semata-mata karena Allah dan membenci sesuatu
juga semata-mata karena Allah.
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda,
أَوْثَقُ عُرَى الْإِيمَانِ الْمُوَالَاةُ فِي اللهِ وَالْمُعَادَاةُ فِي اللهِ، وَالْحُبُّ فِي اللهِ وَالْبُغْضُ فِي اللهِ
“Ikatan iman yang paling kuat adalah
loyalitas karena Allah dan antipati karena Allah, serta cinta karena
Allah dan benci karena Allah.” (HR. ath-Thabarani, dinyatakan hasan oleh
asy-Syaikh al-Albani dalam as-Silsilah ash-Shahihah)
Keimanan seseorang yang menyatakan
dirinya beriman kepada Allah akan terlihat pada sikap ini. Jika
keimanannya benar, dia akan mencintai segala sesuatu yang dicintai oleh
Allah dan mencintai pelaku-pelakunya. Di samping itu, dia akan membenci
segala sesuatu yang dibenci oleh Allah dan membenci para pelakunya.
Allah subhanahu wa ta’ala memuji
Ibrahim ‘alaihissalam dan orang-orang mukmin yang bersama beliau yang
menerapkan sikap ini, agar kita meneladani mereka. Allah subhanahu wa
ta’ala berfirman,
قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي
إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَآءُ
مِنْكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ
وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا
حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ
“Sesungguhnya telah ada suri teladan
yang baik bagi kalian pada Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya,
ketika mereka berkata kepada kaum mereka, ‘Sesungguhnya kami berlepas
diri dari kalian dan dari apa-apa yang kalian ibadahi selain Allah. Kami
ingkari (kekafiran) kalian dan telah nyata antara kami dan kalian
permusuhan dan kebencian, selama-lamanya sampai kalian beriman kepada
Allah saja’.” (al-Mumtahanah: 4)
Ketahuilah, cinta karena Allah dan benci
karena Allah adalah makna yang terkandung dalam kalimat La ilaha
illallah. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ لأبِيهِ
وَقَوْمِهِ إِنَّنِي بَرَاءٌ مِمَّا تَعْبُدُونَ. إِلا الَّذِي فَطَرَنِي
فَإِنَّهُ سَيَهْدِينِ. وَجَعَلَهَا كَلِمَةً بَاقِيَةً فِي عَقِبِهِ
لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
“(Ingatlah) ketika Ibrahim berkata
kepada bapak dan kaumnya, ‘Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang
kalian ibadahi, selain (Allah) yang telah menciptakanku; sesungguhnya
Dia akan memberiku petunjuk.’ Dia (Ibrahim) jadikan kalimat tersebut
kekal pada keturunannya agar mereka kembali (berpegang teguh pada
kalimat tersebut).” (az-Zukhruf: 26-28)
Para ahli tafsir mengatakan bahwa
kalimat yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah kalimat tauhid, La
ilaha illallah. Oleh karena itu, arti ayat tersebut adalah bahwa ucapan
Ibrahim ‘alaihissalam terhadap ayah dan kaumnya -yang merupakan makna
kalimat tauhid, La ilaha illallah- terus-menerus diwariskan dari
generasi ke generasi dari keturunan Ibrahim ‘alaihissalam, yaitu para
nabi dan orang-orang yang beriman. Di antara keturunan beliau adalah
Nabi kita, Muhammad shalallahu ‘alaihi wassalam.
Jika kita perhatikan sirah (perjalanan
hidup) beliau shalallahu ‘alaihi wassalam dan orang-orang yang bersama
beliau, yaitu para sahabat, niscaya akan kita dapati bahwa keadaan
mereka persis seperti keadaan Ibrahim ‘alaihissalam dan orang-orang yang
bersamanya yang digambarkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Mereka
mencintai kaum yang tidak memiliki hubungan kekerabatan sama sekali
dengan mereka semata-mata karena keimanan. Sebaliknya, mereka membenci
dan memerangi kaum yang paling dekat kekerabatannya dengan mereka
semata-mata karena kaum tersebut kafir kepada Allah. Allah subhanahu wa
ta’ala berfirman,
لا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ
وَالْيَوْمِ الآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ
كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ
عَشِيرَتَهُمْ أُولَئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ الإيمَانَ وَأَيَّدَهُمْ
بِرُوحٍ مِنْهُ وَيُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأنْهَارُ
خَالِدِينَ فِيهَا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ أُولَئِكَ
حِزْبُ اللَّهِ أَلا إِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Tidak akan engkau dapati bahwa suatu
kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir saling berkasih sayang
dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun
orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak, atau saudara-saudara,
ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang Allah telah
mengokohkan keimanan dalam hati mereka, menguatkan mereka dengan
pertolongan dari-Nya, dan memasukkan mereka ke dalam surga yang mengalir
di bawahnya sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya. Allah ridha
terhadap mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya. Mereka itulah golongan
Allah. Ketahuilah, sesungguhnya golongan Allah itulah orang-orang yang
beruntung.” (al-Mujadilah: 22)
Ayat ini sangat tegas menunjukkan bahwa
tidak akan pernah ada orang yang beriman kepada Allah berkasih sayang
dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya. Keimanan
seseorang kepada Allah mengharuskan hilangnya kecintaan kepada
musuh-musuh Allah. Sebab, kedua hal tersebut saling berlawanan. Jadi,
keberadaan salah satu dari keduanya mengharuskan hilangnya yang lain.
Asy-Syaikh as-Sa’di rahimahullah
berkata, “Adapun orang yang beranggapan bahwa dia beriman kepada Allah
dan hari akhir, tetapi berkasih sayang kepada musuh-musuh Allah dan
mencintai orang yang meninggalkan iman di belakang punggungnya,
keimanannya hanyalah pengakuan, tidak ada hakikatnya. Setiap hal
membutuhkan pembuktian akan kebenarannya. Adapun semata-mata pengakuan,
tidak ada manfaatnya dan pengucapnya tidak akan dibenarkan.” (Lihat
Taisir al-Karimir Rahman)
Yang menunjukkan hal ini dari sirah
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam adalah hijrah beliau dari Mekah
menuju Madinah. Hijrah tersebut wajib bagi Rasulullah dan para sahabat
beliau. Mereka meninggalkan kampung halaman dan sanak kerabat karena
Allah. Mereka berlepas diri dari kesyirikan dan para pelakunya walaupun
masih terhitung kerabat terdekat mereka sendiri. Mereka menuju ke suatu
tempat yang banyak penduduknya telah menerima Islam, yaitu kaum Anshar.
Kaum Anshar pun mencintai kaum Muhajirin yang datang kepada mereka,
bahkan lebih mengutamakan Muhajirin daripada diri mereka sendiri,
walaupun mereka sendiri sangat membutuhkan apa yang mereka berikan
kepada Muhajirin. Padahal, kebanyakan kaum Anshar tidak memiliki
hubungan kekerabatan dengan para pendatang tersebut. (Lihat al-Hasyr:
8-9)
Semua itu mereka lakukan hanya dengan satu alasan, yaitu keimanan. Mereka melakukan semua itu karena Allah.
Hal lain yang menunjukkan sikap cinta
dan benci karena Allah adalah sikap Rasulullah shalallahu ‘alaihi
wassalam kepada paman beliau, Abu Thalib, yang meninggal dalam keadaan
musyrik. Beliau menyatakan, “Aku akan senantiasa memintakan ampun
untukmu selama aku tidak dilarang.” Lalu turunlah ayat-Nya,
مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا
أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَى مِنْ
بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ
“Tidak sepantasnya Nabi dan orang-orang
yang beriman memintakan ampun bagi orang-orang musyrik, walaupun dari
kalangan kerabat mereka sendiri, setelah jelas bagi mereka bahwasanya
orang-orang musyrik itu adalah penduduk neraka Jahim (mati di atas
kesyirikan).” (at-Taubah: 113)
Maka dari itu, beliau pun berhenti
memintakan ampun untuk paman beliau dan berlepas diri darinya, walaupun
semasa hidupnya sang paman sangat sayang kepada beliau dan sangat besar
pembelaannya terhadap beliau. Kisah tersebut diriwayatkan oleh
al-Bukhari dan Muslim dalam Shahih keduanya.
Sebagaimana halnya sikap antipati dibangun di atas keimanan, demikian pulalah loyalitas dan kecintaan.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ
“Orang-orang yang beriman laki-laki dan
perempuan, sebagian mereka adalah wali (pelindung dan penolong) bagi
sebagian yang lain.” (at-Taubah: 71)
Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman,
إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ
وَالَّذِينَ آمَنُوا الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلاةَ وَيُؤْتُونَ
الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُونَ
“Sesungguhnya wali (pelindung dan
penolong) kalian adalah Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang beriman
yang menegakkan shalat dan menunaikan zakat dalam keadaan tunduk.”
(al-Maidah: 55)
Banyak sekali ayat yang semakna dengannya di dalam al-Qur’an.
Ketahuilah, Saudariku, prinsip ini akan
menjadikan seseorang senantiasa berada di atas al-haq (kebenaran) dan
akan selalu berpegang padanya. Dia tidak peduli meskipun yang
menyelisihi al-haq tersebut adalah orang yang paling dia sayangi, orang
yang paling dekat kekerabatannya dengannya, atau orang yang paling
berjasa terhadap dirinya, dan seterusnya. Dia tetap berlepas diri
darinya karena al-haq lebih dia cintai daripada apa pun dan siapa pun.
Dia meyakini bahwa segala sesuatu yang datang dari Allah dan Rasul-Nya
adalah kebenaran, sedangkan segala sesuatu yang menyelisihinya adalah
kebatilan. Prinsip inilah yang disebut al-wala’ wal bara’ (cinta dan
benci karena Allah) di dalam Islam.
Wallahu a’lam bish-shawab. Penulis: Al-Ustadz Syafi’i bin Shalih al-Idrus
***********
AMALAN-AMALAN PENGHAPUS DOSA
Berikut ini adalah serial lanjutan dari
beberapa amal sholeh atau dzikir yang bisa mendatangkan ampunan Allah
subhanahu wa ta’ala atau menghapuskan dosa-dosa:
14. Puasa Arafah (9 Dzulhijjah) dan Asyura’ (10 Muharram)
Puasa ‘Asyura menghapus dosa tahun lalu, sedangkan puasa Arafah menghapus dosa 2 tahun (tahun lalu dan tahun yang akan datang).
صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ أَحْتَسِبُ عَلَى
اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِي
بَعْدَهُ وَصِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ
يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ
Puasa Arafah aku mengharapkan kepada
Allah bisa menghapuskan dosa setahun sebelumnya dan setahun setelahnya.
Puasa ‘Asyura’ aku mengharapkan kepada Allah bisa menghapuskan dosa
setahun sebelumnya (H.R Muslim)
15. Memandikan mayit muslim dengan ikhlas serta menutup aurat dan menyembunyikan aibnya
مَنْ غَسَّلَ مُسْلِمًا فَكَتَمَ عَلَيْهِ غَفَرَ لَهُ اللهُ أَرْبَعِيْنَ مَرَّةً
Barangsiapa yang memandikan (mayit)
seorang muslim kemudian menyembunyikan aibnya, Allah akan ampuni
sebanyak 40 kali (H.R alHakim dan Ibnu Hajar menyatakan sanadnya kuat)
dalam riwayat atThobarony dinyatakan: diampuni dosanya sebanyak 40 dosa besar
16. Membaca doa setelah makan: Alhamdulillaah alladzi ath-amanii haadza wa rozaqoniihi min ghoiri haulin minnii walaa quwwah
مَنْ أَكَلَ طَعَامًا فَقَالَ الْحَمْدُ
لِلَّهِ الَّذِي أَطْعَمَنِي هَذَا وَرَزَقَنِيهِ مِنْ غَيْرِ حَوْلٍ
مِنِّي وَلَا قُوَّةٍ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Barangsiapa yang memakan makanan
kemudian ia mengucapkan (yang artinya): segala puji bagi Allah yang
telah memberikan aku makanan ini dan memberikan rezeki dengan ini tanpa
daya dan kekuatan dariku’, akan diampuni dosanya yang telah lalu (H.R
Abu Dawud, atTirmidzi, dan Ibnu Majah, dihasankan oleh Syaikh alAlbany)
Sumber:
⦁ https://qonitah.com/cinta-karena-allah-dan-benci-karena-allah/
⦁ Buku “Sukses Dunia Akhirat dengan Istighfar dan Taubat” karya Al-Ustadz Abu Utsman Kharisman .
⦁ https://qonitah.com/cinta-karena-allah-dan-benci-karena-allah/
⦁ Buku “Sukses Dunia Akhirat dengan Istighfar dan Taubat” karya Al-Ustadz Abu Utsman Kharisman .
وَالله ُتَعَالَى أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ وَالْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ اْلعٰلَمِيْنَ
0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.